TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wahana Alam Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) bersama dengan organisasi lingkungan hidup lainnya menggelar konferensi pers terkait penembakan yang menewaskan satu orang tewas dalam insiden di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur.
Tragedi berdarah tersebut terjadi pada 25 April 2018, korban bernama Poroduka (45) meninggal ditembak pada bagian dada, dan Matiduka yang tertembak di kedua kakinya. Serta tindak kekerasan yang dialami oleh 10 orang masyarakat, salah seorang diantaranya adalah anak SMP, semua tindakan keji itu diduga dilakukan oleh oknum aparat polres Sumba Barat.
Konflik tersebut terjadi karena perselisihan PT Sutra Marosi dengan warga setempat terkait perizinan industri pariwisata di pesisir pantai Marusia NTT.
Warga setempat menolak keberadaan perusahaan pariwisata itu karena tidak memiliki legalitas yang jelas. Sejak 1994, baru di 2018 melakukan pengukuran tanah. Karena itu warga menolak aktivitas pengukuran lahan yang dilakukan BPN dan PT Sutra Marosi.
"Dalam perjanjiannya, jika 5 tahun tanah tersebut tidak dibangun, maka masyarakat bisa kembali mempergunakan tanah itu," ujar seorang Narasumber, Petrus di Kantor Walhi Jakarta, Rabu (2/5/2018).
Mediasi terakhir dikatakan menemui jalan buntu sehingga tidak ada kesepakatan antara mereka yang disebut mediator dengan masyarakat setempat.
"Mediasi terakhir tidak ada titik temu, tidak ada kesimpulan antara yang disebut mediator dengan masyarakat," papar Petrus.
Warga yang menuntut haknya atas tanah mereka berhadapan dengan pihak keamanan yang diturunkan oleh PT Sutra Marosi, dan terjadi kekerasan berdarah tersebut.
Hal ini menunjukan pihak kepolisian bertindak secara tidak profesional. Padahal ada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.
Menurut WALHI ini bertentangan dengan semangat Nawacita pemerintahan Presiden Jokowi yang menghadirkan rasa aman bagi warga negara terbukti gagal, ini juga bertentangan dengan semangat presiden untuk mereformasi agraria.
Industri pariwisata mengindahkan hak masyarakat adat, akibatnya hal ini hanya akan memperpanjang konflik agraria yang terjadi.
"Orang sumba itu tidak memiliki atau mengenal kepemilikan pribadi, mereka hanya mengenal kepemilikan suku, dan budaya," ungkap Petrus.
Wilayah yang sempit menjadikan masyarakat Sumba Barat mengetahui dan mengenal siapa petugas keamanan yang berjaga disana, namun dalam kasus ini berbeda. Warga benar benar tidak mengetahui siapa yang saat itu melakukan kekerasan karena mereka menutup dirinya dengan helm dan rompi anti peluru.
http://www.tribunnews.com/regional/2018/05/02/oknum-polres-sumba-barat-diduga-tembak-satu-warga-hingga-tewas-dalam-konflik-lahan-di-ntt
0 Response to "Oknum Polres Sumba Barat Diduga Tembak Satu Warga Hingga Tewas Dalam Konflik Lahan di NTT"
Posting Komentar