Terjepit Go-Jek dan Grab: Mengapa Uber jadi raksasa yang kalah -berulang kali?

Pertama Cina, lalu Rusia, dan kini Asia Tenggara -yang meliputi Indonesia.

Semuanya kini jadi terdengar seperti kisah itu-itu saja yang terus berulang.

Raksasa taksi online global Uber masuk ke pasar-pasar baru, dengan semua kegigihan dan keberanian, dan kedigjayaan kekuatan luar biasa dari luar, namun kemudian menemukan diri mereka terlibat dalam pertempuran jalanan yang sengit dengan para saingan lokal, dan kemudian akhirnya - kalah perang.

Kita mendapat firasat awal bahwa strategi global Uber untuk 'menerobos masuk' tampak serba keliru ketika mereka kehilangan pasar mereka di Cina terhadap Didi Chuxing pada tahun 2016.

Pada saat itu, penjelasan Uber tentang penarikan diri mereka dari Cina adalah lebih masuk akal untuk keluar dari pasar yang jelas sudah dilayani dengan baik oleh Didi, dan bukanlah merupakan kekalahan ketika kemudian kita jadi memiliki saham di perusahaan itu.

Tetapi ingat, bos Uber Travis Kalanick waktu itu, pernah menyatakan ungkapan yang terkenal, bahwa sukses di Cina itu berarti menjadi nomor satu di sana.

Kata-kata yang harus dia telan ternyata, terutama karena Uber dilaporkan kehilangan sekitar satu miliar dolar setahun di Cina.

Kabar buruk

Di sini, di Asia Tenggara, kisah serupa muncul.

Grab dan Uber bertarung mati-matian untuk pangsa pasar di jalanan utama wilayah ini. Mereka bukan saja bertempur dengan taksi - di negara-negara seperti Indonesia, ojek motor juga merupakan bisnis besar.

Dalam berbagai perkiraan, setiap tahunnya Uber merugi ratusan juta dolar di Asia Tenggara - bersama para pesaingnya.

Uber di kamboja
Getty Images

Let's block ads! (Why?)

http://www.tribunnews.com/internasional/2018/03/27/terjepit-go-jek-dan-grab-mengapa-uber-jadi-raksasa-yang-kalah-berulang-kali

0 Response to "Terjepit Go-Jek dan Grab: Mengapa Uber jadi raksasa yang kalah -berulang kali?"

Posting Komentar