Jokowi telah memilih KH Ma'ruf Amin. Tim sukses Jokowi-Ma'ruf membuat jargon Nasionalis-Relijius atau Umara-Ulama dengan visualisasi seorang Jokowi yang berjalan dengan menggandeng tangan ulama keturunan Syaikh Nawawi Banten itu.
Konon, strategi ini dirancang untuk membendung kampanye hitam yang menuduh Jokowi anti-Islam dan menguatnya arus populisme Islam yang kian mengkhawatirkan. Sudah segenting itukah kondisi bangsa sehingga Jokowi fokus berkepentingan membendung politik identitas yang mengatasnamakan agama dibanding merespons isu lain yang dapat membangun sentimen positif akan dirinya?
Bagaimana pun, keputusan telah diambil. Mau tak mau, kita hanya dapat mengusahakan untuk mengawal kedua pasangan capres-cawapres. Satu-satunya hal yang dapat dilakukan sebagai warga negara, tentu saja dengan memberi masukan-masukan.
Jokowi sebagai petahana, selain diapresiasi akan prestasi sepanjang lima tahun memimpin negeri, tentu sekaligus objek evaluasi yang menarik akan visi nawacita yang ia janjikan sejak periode lalu.
Pada tahun 2014, pasangan Jokowi-JK unggul dari pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa karena dianggap mewakili aspirasi pro-rakyat, demokratis hingga harapan wajah baru sejarah Indonesia. Prabowo, selain berangkat dari kalangan militer juga erat dengan sejarah kelam Orde Baru yang membungkam kemerdekaan berpendapat.
Ketika itu, kalangan yang mendambakan Indonesia lebih pluralis yang berasal dari para aktivis, akademisi, jurnalis, seniman hingga artis, ramai-ramai mendukung Jokowi dengan mengampanyekannya sebagai "orang baik”.
Dikemanakan hak minoritas?
Berpasangan dengan KH Ma'ruf Amin, dukungan tersebut jadi surut mengingat rekam jejak KH Ma'ruf Amin dengan kiprahnya di MUI yang tidak begitu sejalan dengan perlindungan hak-hak minoritas. Selama menjadi Ketua MUI, KH Ma'ruf Amin adalah aktor yang mengeluarkan fatwa sesat, satu yang paling provokatif adalah kepada Ahmadiyah, yang mendorong meningkatnya kekerasan kepada jamaah Ahmadiyah selama 15 tahun terakhir.
Yang paling mutakhir,KH Ma'ruf Amin memberi kesaksian dalam persidangan kasus Ahok yang mengakibatkan vonis bersalah atas kasus penistaan agama kepada mantan Gubernur DKI tersebut.
KH Ma'ruf Amin boleh mendapat kesempatan menyampaikan visi dan misi kebangsaan yang lebih demokratis sekali lagi.
Akan tetapi, hal tersebut hanya mungkin terjadi jika sosoknya dilepaskan dari PBNU, MUI atau persona sakralitas ulama yang seakan tak boleh digugat. Integritas dan komitmen demokrasi kalangan NU dan komunitas santri sedang diuji.
http://www.tribunnews.com/internasional/2018/08/18/layakkah-maruf-amin-yang-tak-begitu-sejalan-dengan-perlindungan-hak-minoritas-duduk-di-istana
0 Response to "Layakkah Ma’ruf Amin Yang Tak Begitu Sejalan dengan Perlindungan Hak Minoritas Duduk di Istana?"
Posting Komentar